Tsunami menerjang Palu, setelah sebelumnya gempa berkekuatan 7,4 skala ritcher mengguncang. Masih di kota yang sama, fenomena mengerikan lainnya terjadi, likuifaksi. Tragedi yang sangat menakutkan. Gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi dalam waktu yang bersamaan meluluhlantakkan kota Palu.
28 September 2018, Palu dan Donggala berduka. Indonesia berduka. Dunia berduka. Headline berita ramai menampilkan bencana alam ini.
Serangkaian bencana di Palu diawali dengan gempa bumi. Beberapa menit setelah gempa, gelombang ombak yang menggunung dan secepat mobil formula 1 datang dari teluk palu, tsunami palu pun terjadi.
Efek gempa tak hanya menyebabkan gelombang di lautan. Di darat, tanah membentuk gelombang seperti ombak dan membolak-balikkan apa yang berada di atasnya.
Rekaman-rekaman video amatir tentang gempa, tsunami dan likuifaksi palu berseliweran di linimasa sosial media dan kanal-kanal berita. Video amatir dari hotel memperlihatkan ganasnya ombak tsunami menerjang area daratan. Di darat lebih ngeri lagi, tanah bergerak, mengalir seperti air. Melihatnya saja sudah merinding, bagaimana mereka yang merasakan langsung kengerian ini??
Januari 2019, beberapa bulan setelah gempa, tsunami dan likuifaksi palu dan donggala, saya traveling ke Palu. Kedatangan saya ke Palu bukan untuk mencari tempat-tempat indah yang wajib dikunjungi. Kunjungan kali ini saya ingin melihat sisa-sisa bencana sebagai pengingat betapa sebenarnya kita itu lemah dibanding kekuatan alam.
Tak ada tempat wisata yang saya kunjungi di Kota Palu. Jadi, tak ada ulasan tentang tempat wisata di tulisan kali ini.
Beginilah Brotherhood Dalam Dunia Bikers
Saya sampai di Kota Palu sore hari. Sebelumnya saya telah berkendara dari Pasangkayu, Sulawesi Barat. Dalam perjalanan, saya singgah di beberapa tempat wisata seperti pusat laut dan pantai tanjung karang donggala.
Sepanjang perjalanan dari Donggala ke Palu, puing-puing bangunan masih terlihat di beberapa titik. Bangunan-bangunan yang runtuh dan retak menjadi pemandangan umum. Beberapa camp pengungsian berjajar di beberapa ruas jalan.
Di sebuah SPBU plat merah saya berhenti, menunggu seseorang. Dia adalah member komunitas motor yamaha max series. Grup facebook nusantaride lah yang berjasa menghubungkan saya dengan para member komunitas yamaha max series ini.
Kami sampai di sebuah cafe besar. Cafe ini milik salah seorang member komunitas max series. Cafe ini menjadi sekre komunitas ini, menggantikan sekre lama yang luluh lantak dihantam tsunami.
Saya, seseorang yang datang dari antah berantah tanpa dikenali oleh satu pun dari anggota komunitas, membawa motor dengan kapasitas mesin kecil dan dari brand lain, dan dengan keadaan lusuh, disambut dengan hangat oleh para member max series. Saya terharu. Seperti ini toh bentuk nyata dari brotherhood yang sering digaungkan oleh para anak motor. Sambil bersantap ikan bakar segar, kami saling bertukar cerita.
Cerita tentang gempa palu dari saksi hidup
Di Palu, saya menginap di rumah bang Tito, kawan yang saya kenal dari couchsurfing. Bang Tito datang menjemput saya di markas komunitas max series. Kira-kira jam 10 malam, kami pamit ke komunitas dan menuju rumah bang Tito.
Bang Tito dan seluruh anggota keluarganya termasuk orang-orang yang beruntung karena selamat dari musibah mengerikan ini. Secara materi, bang Tito mengalami kerugian yang nggak sedikit juga, tapi menurutnya kalau dibandingkan dengan korban lainnya, itu enggak seberapa.
Pagi itu, saya berbincang bersama bang Tito, kakak perempuannya, dan kedua orang tuanya. Topik kami pagi itu adalah mengerikannya tragedi 28 September 2018 di Palu.
Bang Tito memulai cerita… “Kejadian waktu itu jam-jam maghrib, biasanya gue lagi ada di cafe gue di pantai talise, tapi waktu kejadian jam segitu masih di rumah, padahal di pantai lagi rame karena ada acara. Waktu itu gempa kerasa banget, keluar kamar langsung terpental beberapa meter”.
Orang tua bang Tito pun merasakan hal yang sama dengan bang Tito, “setelah terpental dan jatuh, bahkan untuk berdiri pun susah, gempanya terasa kuat banget”.
Beruntungnya, rumah bang Tito jauh dari pantai dan lokasi likuifaksi, sehingga kerusakan yang ditimbulkan pun minimalis saja. Tembok hanya mengalami retakan-retakan kecil dan ada sedikit lantai keramik yang hancur yang sekarang ditutupi oleh karpet. Kondisi 180% terjadi pada cafenya yang rusak parah diterjang tsunami.
Beda lagi dengan kakak perempuan bang Tito. Rumahnya di Petobo telah hilang terkubur di dalam bumi. Beruntungnya, saat kejadian, dia dan keluarganya sedang berada di toko miliknya. Seperti yang kita ketahui bersama, Petobo adalah tempat dengan dampak paling mengerikan dari tragedi di Palu.
Setelah gempa berakhir, bang Tito bercerita betapa susahnya hari-hari yang dilalui. Gempa susulan masih sering terjadi, ATM mati, harga bbm melonjak, dan lain sebagainya. Bang Tito dan keluarga pun mengungsi keluar Palu sampai suasana dirasa kembali kondusif..
Bahkan, sampai ketika saya berada di Palu, gempa masih sering terjadi dengan kekuatan yang kecil. Itulah kenapa saya enggak bisa berlama-lama di Palu, selain karena dimarahin juga sama Ayu karena dia takut, hehe..
Menengok Kerusakan Gempa, Tsunami dan Likuifaksi Palu
Gempa dan Tsunami Palu
Hari semakin siang, kami menyudahi percakapan di rumah. Selanjutnya Bang Tito mengajak saya berkunjung ke tempat-tempat yang menjadi saksi bisu betapa ganasnya gempa, tsunami dan likuifaksi yang terjadi di Palu.
Tempat pertama yang kami datangi adalah bangunan cafe milik bang Tito di pantai Talise. Bangunan masih berdiri, tetapi keadaannya sudah cukup memprihatinkan. “Koki gue meninggal terkena tsunami, dan karyawan-karyawan gue hilang, tapi beberapa hari kemudian, gue dapat info kalau mereka diungsikan ke Kalimantan”.
Masih ingat Izrael, anak lelaki yang tetap tabah walau ditinggal selamanya oleh ibunya yang korban tsunami? Ruko orang tuanya persis di sebelah cafe bang Tito. Kondisi rukonya sama parahnya dengan ruko bang Tito. Bang Tito mengenal baik keluarga mereka.
Kami beranjak ke lokasi lain. Lokasi ini banyak disorot oleh media ketika bencana tragedi. Sebuah masjid tampak masih berdiri walau tak sempurna. Strukturnya sudah miring dan lantainya turun. Saat pasang, air laut yang mengelilingnya mungkin akan merendam lantainya.
Diantara puing-puing bangunan, tampak 2 orang lelaki dewasa sedang memancing. Nampaknya warga Palu sudah merasa kehidupan mulai normal kembali, walau sisa-sisa tragedi masih terlihat di sana-sini.
Di sepanjang jalan, retakan, reruntuhan dan puing-puing bangunan masih menjadi pemandangan di setiap sudut kota ini.
Likuifaksi Palu
Bang Tito lalu mengajak saya mengunjungi 2 lokasi keganasan likuifaksi.
Balaroa adalah tempat pertama yang kami datangi. Kami memarkirkan motor di depan sebuah rumah. Di sini, kondisi masih terlihat normal. Setelah berjalan kira-kira 20 meter, baru nampak pemandangan mengerikan di depan mata.
Di Balaroa, rumah dan puing-puing reruntuhan bangunan masih terlihat di atas tanah. Hanya saja, tanah tempat berpijak bangunan-bangunan itu tak lagi rata. Tanah yang dulu rata, sekarang bergelombang. Sebagian bangunan ada yang terkubur di dalam tanah, begitu juga jalan aspal yang tak lagi terlihat.
“Di lokasi ini, pas digali ada kakek nenek yang berpelukan, padahal rumah mereka jauh di sebelah sana, bisa keseret sampai sini.”, bang Tito bercerita. “Tapi enggak semuanya digali, sekarang ini, di bawah kita ini masih banyak mayat yang tertimbun”, seketika saya merinding mendengar ucapannya.
Matahari semakin beranjak naik, bang Tito membawa saya mengunjungi Petobo, yang juga menjadi lokasi terakhir kunjungan saya di Kota Palu.
Di Petobo, likuifaksi lebih mengerikan. Area yang terdampak lebih luas dibanding Balaroa.
Kalau di Balaroa, rumah-rumah masih terlihat di atas tanah, beda halnya di Petobo. Di sini, hanya satu dua rumah yang masih terlihat, sisanya sudah tenggelam dilahap tanah yang mengalir.
Masih teringat jelas video yang dulu beredar, seseorang berada di atap rumah dan merekam betapa mengerikannya likuifaksi. Tanah mengalir seperti air. Semua yang berada di atasnya bergerak, ada rumah, pohon, dan bahkan tiang listrik. Melihat rekamannya saja ngeri, apalagi kalau berada di posisi orang yang merekam.
Saat saya tiba, kondisi tanah telah rata, tapi posisi tanahnya naik beberapa meter dari sebelumnya. Sebuah bangunan rumah sakit masih berdiri tegak, menjadi penahan tanah yang bergerak itu. Di balik rumah sakit, posisi rumah-rumah masih seperti semula.
Selain saya dan Bang Tito, banyak juga pengunjung yang datang. Sama seperti saya, mereka penasaran ingin melihat lokasi yang pernah dihantam bencana tanah bergerak yang mengerikan itu.
Setelah dari Petobo, saya mampir sebentar ke rumah kawan kuliah saya, Mas Gatha. Saya kembali ke rumah bang Tito untuk berkemas. Siang itu, saya kembali melanjutkan petualangan saya. Kali ini, saya akan ke Kepulauan Togean. (Mau traveling ke Togean? lihat dulu panduan ini supaya bisa puas dan hemat)
Semoga Palu segera pulih, sehat selalu bang Tito dan keluarga, terimakasih telah memberi tumpangan dan berbagi cerita. See you.
***
Traveler Paruh Waktu
Wah, ngelihat dari puing-puingnya saja saya sudah bergidik ngeri, membayangkan saat peristiwawaktu itu terjadi. Semoga Palu segera pulih.
aamiin.. semoga palu segera pulih seperti sedia kala.
wah seram ya, semoga warga yang terkena bencana diberikan ketabahan dan segera normal kembali seperti sedia kala
iyaa liat kondisi sekarang aja seram, apalagi pas kejadian..
aamiin, semoga segera normal seperti sedia kala..
Tergerak membuka artikel karena gambar thumbnail yakni mesjid yang sudah agak miring. Dari awal paragraf sampai kalimat penutup, tulisan ini sukses membuat saya merinding. Betapa tidak ada apa-apanya kalau yang Maha Kuasa sudah berkehendak.
-Fajarwalker.com
kita hanyalah seperti butiran debu di dunia ini..
merinding aku ngeliatnya mas. apalagi ngebayangin pas kejadian :(. jd pengen tau lbh banyak ttg likuifaksi. kenapa itu bisa terjadi dll. Orang2 di sana jd trauma ama gempa kah? msh bnayak temen2 ku di aceh yg selalu takuuut bgt kalo gempa, krn mereka blm bisa ngelupain tsunamj dulu
aku juga pengen tau lebih banyak tentang likuifaksi dan pgn tau daerah2 mana aja di indo yang berisiko kena likufaksi..
kalau keluarga bang tito sih kayanya tegar ya, ngga tersirat rona-rona trauma. tapi mungkin banyak juga warga yang trauma.. Aceh juga ngeri bgt,, jaman di saat orang-orang belum menyadari potensi tsunami.. 🙁
menemukan sisi humanis dalam postingan blog ini. Emosional sekali mas Bara. semoga palu segera pulih…
yap,, semoga palu segera pulih mas 🙂
beneran merinding bacanya Bar… sebelum tsunami di aceh, kita hampir tak pernah tahu dengan kata tsunami, dan setelah musibah di Palu, kita baru tau bahwa selain gempa dan tsunami, ada yg namanya tanah bergerak (likuifaksi) … semoga semua yg menjadi korban tenang di alam sana dan yg ditinggalkan segera bangkit … amien
iyaa gan.. semoga dengan kejadian2 ini kita semua jadi lebih waspada, karena negara kita ini negara rawan bencana.. be prepared always..
Ya ampun ngeri banget yah.
Aku pernah di Palu hampir seminggu zaman tahun 2012 kali dan berfoto depan masjid terapung itu…
Semoga semua bisa bangkit kembali yah
wah lama juga seminggu kak,, kemana aja tuh di sana??
aamiin, semoga segera bangkit 🙂