“Ketika matahari bersinar terik, sekitar siang hari, bantaran sungai yang lembab di atas air terjun menghadirkan pemandangan indah, kilauan sekumpulan kupu-kupu -orange, kuning, putih, dan hijau- yang ketika diganggu beterbangan kupu-kupu di udara membentuk awan yang berwarna-warni”, sebuah terjemahan kutipan yang indah dari Alfred Russel Wallace selama meneliti keanekaragaman hayati di Taman Nasional Bantimurung, Kabupaten Maros.
Patung kupu-kupu besar itu menyambut. Tandanya, kami sampai di pintu gerbang kedatangan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Beberapa meter setelahnya, kini giliran patung monyet yang juga besar seperti kingkong menyambut.
Motor terus saya lajukan sampai ujung jalan. Dari sini, putaran roda berganti langkah kaki, kami tiba di loket pembelian tiket masuk wisata Taman Nasional Bantimurung. Rp25.000 per orang, itu untuk wisatawan lokal. Turis asing yang datang harus merogoh kocek Rp255.000, 10 kali lipat dari harga tiket masuk wisatawan lokal.
Kami sampai di sebagian kecil Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, di ujung rimba, yang berbatasan dengan pemukiman penduduk. Sejatinya, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung atau juga disebuat Taman Nasional Babul adalah area seluas kira-kira 43.750 Ha. Taman Nasional ini merupakan kawasan karst yang katanya terbesar kedua di dunia setelah kawasan karst di Guangzhou, China sana (sumber). Di dalamnya termasuk Leang-leang dan Rammang-rammang, tempat wisata yang cukup populer di Kabupaten Maros. Ratusan jenis kupu-kupu mendiami hutan Bantimurung Bulusaraung, berbagi tempat dengan keunikan flora dan fauna peralihan lainnya.
Tempat Wisata Para Menir dan Noni Belanda
Dari sela-sela tebing karst, gelembung-gelembung air memaksa keluar, terlihat sangat jelas di beberapa titik. Tertarik gravitasi dan lalu menggerus bebatuan kapur yang menghadang, air itu keluar dari sungai bawah tanah di dalam tebing karst, menyembul ke area terbuka. Mitos berkata, air kolam jamala ini adalah tempat mandi bidadari yang dipercaya bisa membuat enteng jodoh dan menghindarkan dari guna-guna. Berbagai mitos memang tak bisa lepas dari masyarakat di Indonesia, di belahan manapun. Tak perlu mencemooh, cukup memilih untuk percaya atau tidak. Saya sendiri menganggap hal itu sebetulnya hanya bumbu supaya menambah kesan akan suatu tempat dan saya tak mempermasalahkannya.
Wisatawan cukup ramai, terutama bila dibandingkan dengan taman kupu-kupu dan helena sky bridge yang hanya saya dan Riscy pengunjungnya. Sebagian besar pengunjung terlihat berada di area air terjun dan beberapa kolam kecil di bawahnya. Anak-anak kecil terlihat riang bermain di kolam-kolam kecil itu. Sebagian orang tuanya ikut bermain, sebagian lagi hanya memantau dari tepian.
Baca juga: Panic Attack Melewati Helena Sky Bridge di Taman Kupu-kupu Bantimurung

“Biasanya kita bisa mandi tepat di bawah air terjun ini bang, biasanya airnya jernih dan nggak sederas ini”, Riscy membuyarkan lamunan saya tentang noni-noni belanda yang sedang bercengkerama di sekitar air terjun ini, tempo dulu. Air terjun di depan kami memang sangat deras, airnya keruh dan tak ada yang bermain air di bawahnya. Wajar seperti itu, saat itu memang sedang musim hujan, dan keindahannya akan lebih terpancar di saat kemarau. Gagal rencana saya menceburkan badan di sini.

Jauh sebelum NKRI terbentuk, Bantimurung telah terkenal sebagai tempat wisata. Siapa yang datang ke sana? Mereka yang memegang kekuasaan dan hak-hak istimewa di masanya. Terutama tentu mereka para menir dan noni belanda. Foto dan lukisan tentang wisata Bantimurung dan noni belanda salah satunya ditampilkan di dalam buku “Kepulauan Nusantara” karya Wallace, dan bisa dicari di google.

Kerajaan Kupu-kupu di Bantimurung
Langkah kaki menaiki tangga, menyusuri jalan setapak dengan pepohonan yang rimbun. Semakin jauh, suasananya semakin alami, juga sejuk. Sungai yang juga keruh mengalir dengan tenang, sangat tenang, bertolak belakang dengan derasnya air terjun.
Sekarang, kami sampai di danau kassi kebo. Sebetulnya ini bukan danau, namun lubuk. Air terjun kecil di ujung lubuk menjadi pembatas antara tempat wisata dengan rimba yang rimbun, hutan bantimurung.

Di sampingnya ada 2 buah goa, goa batu dan goa mimpi. Untul menelusuri goa, diperlukan biaya sebesar Rp50.000 untuk biaya senter dan seikhlasnya untuk biaya pemandu. Entah seperti apa isinya, kami tak memasuki kedua goa itu, menolak tawaran seorang pemandu perempuan.
Beberapa ekor kupu-kupu beterbangan di atas pasir di tepian lubuk. Mereka hinggap di pasir itu, mengais mineral yang terkandung di dalamnya. Hanya ada beberapa ekor kupu-kupu saja yang terlihat. Kupu-kupu dengan jumlah yang banyak akan berkumpul menghisap mineral di area ini pada waktu-waktu tertentu. Kabarnya, di saat peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan dan sebaliknya adalah waktu yang paling tepat untuk melakukan wisata ke bantimurung.
Adanya ratusan kupu-kupu di Bantimurung menjadikan tempat ini dijuluki Kingdom of Butterflies atau Kerajaan Kupu-kupu. Julukan itu katanya diberikan oleh Wallace, namun penelitian yang dilakukan Eko Rusdianto mengungkap bahwa hal itu tak berdasar. Tak ada bukti valid tentang Wallace yang menyatakan demikian.
Di sini sepi, hanya ada beberapa orang pengunjung. Sepertinya, para pengunjung terutama yang datang sekeluarga lebih menyukai area di bawah air terjun yang lebih banyak fasilitas. Sedangkan area danau kassi kebo ini sepi dan lebih natural, cocok untuk saya.
Alfred Russel Wallace dan Bantimurung
Nama Wallace muncul kala kita menjelajah Taman Nasional Bantimurung. Di dekat Danau Kassi Kebo, terdapat plang dengan foto Wallace dan kutipannya tentang Bantimurung. Siapa Wallace?
Wallace pernah “dekat” dengan kita, terutama di zaman sekolah dulu. Garis Wallace, Garis Weber dan Garis Lydekker adalah tiga garis imajiner yang akrab di telinga kita dulu, masihkah kamu ingat? Ketiga garis itu diciptakan oleh tiga orang yang berbeda dan terdapat perbedaan antara ketiganya. Namun saya tak akan membahas ketiganya.
“Perjumpaan” saya dengan Wallace bermula di rumah Mas Eko di Bantimurung. Di satu rak buku, saya tergoda untuk membuka sebuah buku yang tampaknya menarik, berjudul Kepulauan Nusantara. Ternyata buku itu adalah karya dari Alfred Russel Wallace.
Buku Kepulauan Nusantara adalah terjemahan dari judul aslinya “The Malay Archipelago”. Buku ini berisi tentang penjelajahan Wallace di Nusantara periode 1854 sampai 1862. Meninggalkan tanah kelahirannya di Inggris Raya, Wallace meneliti tentang hewan-hewan yang ada di Nusantara. Hasilnya? Ternyata secara garis besar keanekaragaman hayati di Indonesia bisa dibagi ke dalam dua wilayah. Flora dan fauna di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan memiliki kemiripan dengan flora dan fauna di Asia. Sedangkan di Timur, flora dan faunanya mirip seperti flora dan fauna di Benua Australia. Garis Wallace, sebuah garis khayal dari selat lombok sampai selat makassar adalah garis yang diciptakan Wallace untuk membedakan karakteristik flora dan fauna di Indonesia.
Bantimurung adalah salah satu tempat yang dikunjunginya. Ratusan jenis kupu-kupu di sana, siapa yang mendata? Wallace! Wallace singgah, lalu tinggal di Maros selama beberapa bulan. Wallace tinggal di sebuah rumah di pinggiran bukit karst. Ia meneliti hewan-hewan, meneliti kupu-kupu.
Perjalanan Wallace ini menambah daftar hal menarik yang terpatri di otak saya. Dari sini, saya menjadi penasaran dengan kisah-kisah para penjelajah lainnya di masa lampau. Saya ingin mengoleksi buku-buku terkait dengan perjalanan mereka, termasuk juga buku Kepulauan Nusantara karya Wallace.
Keistimewaan Bantimurung Dalam Perjalanan Saya
Secara visual, Taman Nasional Bantimurung tak begitu istimewa. Keunikan utamanya adalah adanya ratusan jenis kupu-kupu yang beterbangan bebas. Itu pun hanya bisa kamu lihat di musim tertentu. tapi yang istimewa buat saya, perjalanan kali ini menumbuhkan rasa keingintahuan saya tentang Alfred Russel Wallace, tentang para peneliti masa lalu, tentang gambaran nusantara di mata tiap-tiap penjelajah di masa lampau. Bantimurung juga spesial karena di sini, saya ikut merasakan kebahagiaan sederhana saat ikut berburu kupu-kupu bersama warga lokal, juga saat bergabung memancing ikan di telaga kecil di lembah, tepat di samping bukit karst.
Baca juga: Serunya Berburu Kupu-kupu Bersama Warga Lokal Bantimurung
Saya juga merasa beruntung bisa berkenalan dan menginap di rumah Mas Eko, Mbak Tika dan Elang. Buku-buku bagus melimpah di rumahnya yang nyaman. Buku “Kepulauan Nusantara” karya Wallace yang saya baca sekilas di sana menjadi pemicu rasa penasaran saya, seperti membawa saya melintasi mesin waktu, membawa imajinasi saya mundur ke ratusan tahun lampau.
Perjalanan saya di Taman Nasional Bantimurung belum selesai. Leang-leang dan Rammang-rammang di utara sana menanti untuk dijelajahi.
Tonton videonya di sini.
***
traveler paruh waktu
Terima kasih untuk Tuan Wallace, karena sudah membuka jalan ditemukannya obyek wisata ini. Semoga semakin berkembang dan memberi manfaat bagi warga sekitarnya.
Terima kasih juga untuk Mas Bara, sang traveler paruh waktu, yang terus berjalan dan menceritakan perjalanannya di blog ini. Wallace masa kini. Hehe.
Berkat Wallace, banyak bgt pengetahuan tentang negara kita yang bisa kita pelajari sekarang ini.. Haha, gak ada seujung kukunya Wallace mas kalau saya, cukup sebagai tukang cerita perjalanan di blog ini aja, 😀
terima kasih juga mas, sudah berkunjung ke sini 🙂
Wah, untung kang Bara ga jadi mandi.
Takut ketemu jodohnya yang stau lagi wkwkw.
Upss
kalau mandi mungkin ketemu bidadari ya? 😀
Memang kalo dengar kata Wallace itu ingat saat pelajaran sekolah. Penelitian nya membagikan keanekaragaman hayati di Indonesia terbagi menjadi dua, di sebelah barat mirip dengan Asia, di sebelah timur mirip Australia.
Kenapa harga tiketnya beda jauh ya, wisatawan lokal cuma 25 ribu, asing 255 ribu. Apa karena orang luar banyak duitnya ya.
Selalu begitu mas 😀 saya kalau lagi jalan-jalan di Indonesia berasa banget beda harganya. Saya masuk Batur bayar 5.000 eh si kesayangan bayar 500.000 — terus masuk Bali Safari bayar 175.000 dan si kesayangan bayar 1.175.000 hahaha jadi curcol 😀 tapi saya nggak mau komplain selama memang uangnya dipakai untuk kepentingan tempat wisata (operasional etc it’s okay meski pahit). Asal nggak masuk kantong oknum saja :3
Yang di Batur itu kok bedanya jauh sekali ya mbak Eno, warga lokal cuma 5000 tapi wisatawan asing 500 ribu.
Wallace sudah terpatri di benak kita ya mas 😀
Di beberapa tempat wisata suka kaya gitu mas,, haha.. Di Hutan Mangrove Pantai Indah Kapuk Jakarta juga begitu, untuk wisatawan lokal Rp25.000, untuk turis asing Rp250.000 haha..
Semoga keindahan alam ini tetap terjaga , agar bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.
Traveler paruh waktu, tapi rajin juga ya jalan-jalannya wkwk
aamiin, semoga generasi-generasi setelah kita masih bisa menikmatinya..
kebetulan tahun lalu cuti panjang untuk berkelana 2 bulan hahaha..
Wah sayang banget ga mandi di air terjunnya. Memang airnya lagi deras banget ya. Kalau pas kemarau enak bgt tuh bisa mandi di bawah air terjunnya.
Btw, siapakah Riscy? Soalnya tokoh ini baru muncul di postingan ini, padahal sudah ada 2 postingan sebelumnya tentang Bantimurung.
Kalau Wallace kita semua pasti familiar dengan namanya. Mas Barra coba baca deh bukunya yang berjudul the Malay Archipelago, beliau menuturkan tentang alam Indonesia, Singapura dengan sangat baik.
iyaa ini deres bgt, kalau mandi-mandi di sana bahaya malah kan..
Sejak postingan pertama Bantimurung udah ada Riscy kok, mas Cipu kurang teliti bacanya berarti ahaha..
iya buku Malay Archipelago udah baca terjemahannya kok, itu Kepulauan Nusantara, tapi baru baca sekilas, pgn beli bukunya..
Keren banget Wallace sampai buat list daftar kupu-kupu 😀 memang penjelajah itu keren-keren yah, mereka nggak hanya jalan-jalan tapi juga meneliti segala sesuatu yang mereka lihat, bahkan sampai jadi buku dan akhirnya bermanfaat untuk kita generasi sekarang 😀
Terus saya takjub juga karena air terjunnya ternyata sudah lama bangettt ya mas jadi tempat wisata. Dari tahun 1880an wahahahaha lamanya. Jadi ikut-ikutan membayangkan noni belanda duduk-duduk di tepi air terjun sambil piknik makan bekal dari rumah *eh apa istana?* hehehehe.
By the way airnya apa selalu keruh cokelat, mas Bara? Atau mungkin hanya saat musim musim tertentu saja? Hihi. Siapa tau ada masa di mana airnya berwarna hijau seperti foto foto pemandangan yang biasa mas Bara share 😀
iyaa mbak,, padahal zaman dulu semua masih serba terbatas yaa, tapi bisa gitu keliling dunia sambil meneliti banyak hal, dan karyanya bnyak yg msh berguna sampai sekarang, luar biasa..
sejak zaman kolonial sudah jadi tempat wisata, tapi zaman itu palingan pribumi enggak dibolehin masuk kali ya hehee..
itu keruh karena lagi musim hujan aja mbak, kalau lagi musim kemarau mah jernih dan bisa buat mandi2 di bawahnya hehe.. tapi nggak sampai berwarna hijau kayanya..
Mengunjungi objek wisata air seperti air terjun Bantimurung ini memang suka rada gambling ya. Kalau datang di musim hujan debit airnya besar tapi biasanya keruh. Sementara kalau datang di musim kemarau, debit airnya relatif kecil tapi airnya jernih. Jadi kayanya emang pas sesuai tulisan ini waktu terbaik mengunjunginya adalah di masa peralihan musim kemarau ke musim penghujan hehe.
Ngomongin soal Wallace, saking humblenya dia, orangnya ga pernah sama sekali ngeklaim kalau makalahnya lah yang jadi salah satu inspirasi Darwin buat nulis On the Origin of Species. Padahal gara-gara teorinya soal “survival of the fittest” Darwin jadi menemukan konsep yang selama ini dia cari jawabannya, tentang bagaimana makhluk hidup mengalami perubahan. Menarik memang sosok Wallace ini.
Ditunggu tulisan tentang Rammangnya!
saya belum tahu juga sih kalau musim kemarau kaya gimana, cuma diceritain si Riscy aja kalau kemarau lebih bagus, jernih dan bisa mand-mandi di bawah air terjun.. mungkin datang pas musim kemaraunya jangan pas lagi puncaknya kali yaa supaya airnya juga masih cukup untuk mandi-mandi..
iya bener,, pernah juga baca tentang part yg itu,, Wallace dan Darwin..
siap, tunggu saja hehe..
Waduh, turis asing bayar 10x lipat? :’) Ini nih yang bikin ragu ajak suami jalan-jalan. Padahal sudah punya Kitas, tinggal juga di Indonesia cuma wajahnya doang yang asing. Seringnya disangka turis. Kalau pas masih turis beneran sih gpp ya, cuma kalau incomenya juga udah ngikut standard Indonesia kan kacau, bhahahaha 😀
Haha, di beberapa tempat wisata emang selisihnya jauh sekali.. di Hutan Mangrove PIK Jakarta juga 10x lipat.. Tapi di banyak tempat banyak kok yg bedanya cuma 2x lipatnya..
Wallace itu kalau di saya di Priangan semacam Junghuhn, penjelajah yg hasil ngubek-ngubeknya jadi destinasi wisata hari ini. :p
Teman saya yg kerja di konsultan pariwisata vendor pemerintah kalau ga salah lagi garap Sulawesi, fokus di ekowisata sama lokalitasnya. Bantimurung ini masuk cakupannya kalau ga salah. Namun gara2 pandemi, dia pulang dulu ke Bandung, masih WFH sampe sekarang.
kita harus berterima kasih sama mereka,, para penjelajah yang juga meneliti, yg memberikan manfaat sampai masa sekarang 😀
wah asik bgt kerjanya, garap sektor pariwisata..
Wah, iya, saya baru inget tentang gariss wallace. Ternyata dari nama orang ya. Terbukti kalau indonesia itu kaya banget. Ada banyak flora dan fauna yang unik untuk dipelajari. Kalau nggak ada pak wallace, mungkin kupu-kupu itu masih nggak bernama ya.
Emang luar biasa menjelajah tempat-tempat yang penuh sejarah gitu. Jadi punya sudut pandang yang berbeda saat melihat alam. Ada cerita, mitos, dan fakta yang bisa bikin terkagum-kagum.
kita harus berterima kasih ke Wallace, banyak sumbangsihnya untuk pengetahuan tentang negara kita 🙂
Batuan karst, air terjun, danau, goa dan ratusan jenis kupu-kupu, tempat yang cukup menarik untuk dikunjungi.
ada unsur sejarahnya juga, pasti masbro suka..
Menir dan noni belanda pastilah suka sekali ketempat ini, emang tempatnya keren banget sih. Dengan uang Rp 25 ribu, turis lokal bisa puas berlibur disini. Biarin lah turis asing membayar 10 kali lebih banyak
skrg gantian, biar menir dan noni belanda kalau mau wisata ke sini harus bayar mahal ahaha..
Duh auto bayangin noni2 lg piknik di air mas Bara. Wkwk
Sayannya airnya kecoklatan ya.. Btw keren bgt Wallace, bisa sedetail itu jelajah dg menemukan sesuatu yg baru. Trs aku ngerasa tertampar, mainku cm buat seneng2 doang tanpa melakukan hal2 sperti Wallace. Yaiylah siapa aku. Wkwkwk
yaudah lah, kita-kita ini emang bukan levelnya Wallace #nangis
wallace dan weber sampe sekarang saya sering ketuker ahahah
tapi si wallace emang berjasa banget
dih itu anak anaknya seneng banget
eh iya harga tiket turis asing 10 kali lipat apa ga kemahalan ya itu?
soalnya emang mirip2 sih, garis2an juga haha..
di beberapa tempat wisata emang ada yg harga tiketnya kalau turis asing 10x lipat, tapi kebanyakan sih paling cuma 2x lipat..
Wah tebingnya mirip yang ada di Film KING KONG. mungkin seting filmnya di sini.
kalau setting film King Kong itu salah satunya di Pulau Mursala, Sibolga 😀
Samaaaaa , aku jg paling suka baca buku2 yg berbau sejarah trutama yg menyangkut Indonesia :). Menarik sih utk dibaca.
Luar biasa pak wallace ini. Hanya tinggal bbrp bulan di Maros, dan dia bisa mendata aneka kupu2 di sana :o. Bener2 expertnya yaaa.buatku yg melihat kupu2 kliatan sama semua, ngebesarin 1 demi 1 udh jelas ga gampang 😀
*tos dulu mbak 😀
iyaa, kok bisa yaa? apalagi zaman dulu yg teknologi masih terbatas, akses informasi masih sedikit,, eh tapi malah dia berhasil mendapatkan informasi2 berharga untuk ilmu pengetahuan.. salut..
setiap kali mendengar kata Bantimurung, langsung teringat soal kupu-kupu.. soal kupu-kupu yang ditemukan oleh Wallace, beberapa spesiesnya pernah menjadi desain prangko PT Pos Indonesia.
samar-samar teringat gambar kupu-kupu yang di prangko PT Pos Indonesia..
Halo Mas Bara…
Aku terhanyut akan ceritanya. Sejatinya kakakku pernah tinggal di Makassar selama 20 tahun tapi belum sempat aku bertandang karena banyak alasan, eh 5 tahun terakhir dia pindah ke kampung kami lagi ..duh! Padahal ortuku sudah 2 kali ke Bantimurung ini dan bikin aku keki denger ceritanya…hahaha
Oh ya, pembuka cerita, quote dari Wallace langsung bikin ingatan mengeja Wallace yang diapalin pas SD, eh benar ternyata…Dan aku jadi fokus pada sumbangsihnya pada penelitian kupu-kupu di Bantimurung ini. Sungguh memukau kisah penjelajah di masa lampau ya
wah lama juga 20 tahun di sana.. Semoga bisa ke sana bareng keluarga dalam rangka jalan-jalan dan nostalgia kakak yang pernah lama tinggal di sana..
Wallace memang “dekat” dengan kita sejak SD mbak 😀 , punya kontribusi yang besar dalam ilmu pengetahuan.
Waw Mas Bara, Taman Nasional Bantimurung ini adalah salah satu tempat bersejarah buat kami. Pasalnya di sana, ada kolam kecil yang aliran airnya juga dari air terjun, yang konon katanya kalau cuci muka di situ niscaya segera ketemu jodohnya. Waktu itu saya dan Mas Gepeng, sama teman kami cuci muka bareng-bareng. Eh gak taunya malah saya jodohnya sama Mas Gepeng dan dua teman saya juga mereka nikah dong! Hihihi.
kayanya ke sana juga tapi lupaa , nggak motret juga di sana haha… wah berarti mitosnya berlaku ya? malahan ke dua pasangan sekaligus,, mantul juga.. jadi mereka2 yg masih jomblo dan pgn jodoh datang aja nih ke bantimurung haha..
Saya jadi ngebayangin gimana suasana Bantimurung waktu Wallace tiba dan meneliti kupu-kupu. Jalan mungkin baru setapak, orang mungkin baru satu-dua, suvenir kupu-kupu nggak ada. 😀
Btw, favorit saya dalam postingan ini justru video Bung Bara ngintilin anak-anak lagi mancing. Cerita-cerita kayak gini autentik banget. Nanti, kalau mereka sudah besar dan kebetulan main ke vlog Bung Bara, mestilah mereka tertawa-tawa lihat kebahagiaan sederhana semasa kecil. 😀
Dan saya jadi penasaran juga nih buat baca The Malay Archipelago. 😀
iya,, saya juga ngebayangin,, sepanjang perjalanan dari pusat kota ke air terjun itu pasti masih hutan lebat, mungkin belum ada pemukiman, anoa pun mungkin masih mudah sekali ditemukan, bahkan piton sulawesi yg terkenal besar dan suka makan orang..
bermain bersama anak-anak lokal adalah salah satu pengalaman menarik selama perjalanan bung, kepolosan mereka menjadi cerita tersendiri.. saya beberapa kali main sama anak-anak kecil saat mengembara, keceriaan mereka tampak nyata, ngga dibuat-buat..
Saya juga masih penasaran The Malay Archipelago, baru baca sekilas..
Hutannya indah, lebat gitu seakan alami banget. Easanya adem jika bisa berkunjung ke sana. Air terjun Bantimurung pastinya legendaris karena ada sejarah panjang yang menyertainya ketika para penjajah datang.
Ulasan Kang Barra berkesan nyastra. Pilihan bahasanya berima dan mengalun berat. Enak dibaca. Kentara pembaca sastra atau bookaholic.
adem, sejuk di sana, dan sejarahnya menarik bgt buat saya..
haha, biasa aja kok, emang orgnya rada2 melankolis jadi kebawa sampai ke tulisan wkwk..
Mirip lembah harau gak sih Bar?
Aku baru tau ada jejak Wallace disini…
Niatnya kalo ke Makassar cuma pengen keliling kotanya aja, kayaknya bagus juga nih belajar sejarah di Bantimurung 🙂 Semoga gak bikin murung
dikit, ada yang lebih mirip, rammang-rammang,, ya masih di taman nasional bantimurung juga sih, cuma agak jauh dari sini.. nanti postingan berikutnya nulis itu 😀 .. Jangan cuma kota Makassarnya aja bung, bantimurung juga wajib, ini lebih deket dari bandara dibanding kota Makassarnya..
Kok Ada anak kecil main disitu ya.. apa lokasinya dekat dengan pemukiman???
iya di depan pintu gerbang wisata taman nasional itu udah pemukiman warga.
Oh iya yak, bandaranya masuk wilayah Maros, bukan kota Makassar 🙂 Makasih Bar…
ternyata lebih deket kota Makassar dikiiit daripada Bantimurung 😀
Nah, aku pengen ke kawasan karst yang di China itu, tepatnya ke Guilin sama Yangshuo.
Seiring berjalannya waktu, yang dulunya hanya privilege untuk kalangan tertentu sekarang jadi umum ya. Kayak tempat wisata, naik pesawat terbang, dan nginep di hotel.
pgn juga berkunjung ke kawasan karst yang di China sana..
Yup,, makin ke sini, hal-hal yg dulu tergolong mewah sudah mulai bisa dinikmati lebih banyak kalangan..
baca ini jadi inget pelajaran waktu sekolah dulu soal garis wallace
sampe segitu besarnya rasa cinta dan penasaran warga asing dengan potensi alam Indo, dan malah keunikan alam seperti ini yang justru lebih diminati orang asing.
seneng kalo bisa baca sejarah dan menyaksikan langsung apa yang diceritakan di buku karya wallace ya, apalagi bukunya masih tersimpan dan diterjemahkan ke bahasa indo
iya, aku juga seneng kalau bisa melihat langsung tempat2 yg tertulis dalam sejarah, selalu terbayang2 “bagaimana ya kondisinya pas zaman dulu itu? pasti sangat berbeda” gituuu…
Yang menarik dari sebuah situs wisata justru mitos dan cerita2 rakyatnya. Apalagi kalau ada penampakan2. Orang suka percaya gak percaya, tapi buat yang bisa “melihat” katanya benar ya memang ada. Alami betul tempat ini.
Eniwei, untuk biaya masuk goa 50rb atau seikhlasnya, itu masuknya ke mana ya? Sepertinya pemandunya bukan resmi ya. Agak serem juga kalau masuk ke goa tapi tidak dengan pemandu yang resmi.
hal-hal semacam penampakan itu memang menarik sih,, aku suka baca hal2 begitu tapi gak mau kalau ngalamin langsung wkwk..
nah masuknya entah ke mana, karena ngga cobain jasanya dan ngga nyari info lebih banyak juga sih… tapi kalau ada spanduknya, kemungkinan resmi..
Musim hujan airnya butek gitu yah? Padahal kalo di TV pas di shoting pasti pas airnya lagi bening. Jadi keliatan cantik banget. Itu jauh banget gak sih tempatnya?
itu dia,, bagusnya datang pas musim kemarau… nggak kok, tempatnya cukup dekat dari bandara dan mudah dijangkau..